Setidaknya banyak 18 elemen mahasiswa dan lembaga masyarakat yang tergabung dalam Komite Bersama Aksi Rakyat 2 Mei (Kobar 2 Mei) unjuk rasa memperingati Hari Pendidikan Nasional hari ini. Aksi yang sedang berlangsung di Bundaran Hotel Indonesia ini diikuti sekitar 40 orang dan diperkirakan masih akan bertambah.
Spanduk-spanduk dibentangkan. Di antaranya bertuliskan 'Pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya atas pembiayaan pendidikan dan terwujudnya pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia' dan 'Tolak komersialisasi dan diskriminasi pendidikan. Hentikan proyek Rintisan/Sekolah Bertaraf Internasional'.
Menurut Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal (LAPAM), unjuk rasa ini merupakan upaya mendesak pemerintah agar memberikan pendidikan murah atau bahkan gratis, dan berkeadilan sosial. "Pendidikan yang berkeadilan sosial dalam arti adalah pendidikan yang merata dan bermutu baik," kata aktivis LAPAM, Merlin Simbolon di lokasi demonstrasi.
Para demonstran juga menolak segala bentuk diskriminasi dalam dunia pendidikan. "Contohnya program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, ini juga salah satu bentuk diskriminasi," kata Merlin. Menurutnya, tarif pendidikan yang diterapkan oleh sekolah yang berstatus bertaraf internasional akan membuat orang-orang yang tidak mampu secara finansial tidak dapat memasukinya. Padahal, kata Merlin, sekolah-sekolah itu hanya berbeda dari segi bahasa pengantarnya. Akan halnya sistemnya tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah umumnya.
Komite juga akan mengawal kebijakan pemerintah seperti penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). "Penyelenggaraan UN oleh pemerintah saat ini adalah bentuk pelanggaran hukum," kata Merlin. Padahal, lanjutnya, Mahkamah Agung sudah membatalkan program UN yang dilakukan pemerintah.
Pada tahun ini, tingkat kelulusan SMA atau sederajat menurun dari 95,05 persen di tahun 2009 menjadi 89,61 persen di tahun 2010. "Jika pemerintah ingin menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan, apakah pemerintah sudah memberikan fasilitas dengan kualitas yang merata?" kata Merlin.
Pernyataan senada juga diungkapkan Koordinator Bidang Sosial dan Politik BEM Universitas Indonesia, Hafizh Alfath. Menurut Hafizh, pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan warganya. "Tapi saat ini peserta didik dipersiapkan untuk menjadi komoditas tenaga kerja. Seharusnya bukan itu," kata Hafizh.
Hafizh juga mengingatkan bahwa yang seharusnya menjadi perhatian pada saat ini bukan hanya kasus-kasus pajak atau korupsi, yang notabene saat ini sedang menarik perhatian masyarakat. "Pendidikan adalah modal dasar bagi warga negara yang harus diperhatikan," kata Hafizh.
Demonstran juga menolak rencana Kementerian Pendidikan Nasional untuk membentuk peraturan yang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh menyatakan pemerintah sedang menggodok peraturan baru sebagai pengganti UU BHP dengan alasan karena ada kevakuman hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Merlin membantah bahwa kevakuman hukum itu sama sekali tidak ada.
Spanduk-spanduk dibentangkan. Di antaranya bertuliskan 'Pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya atas pembiayaan pendidikan dan terwujudnya pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia' dan 'Tolak komersialisasi dan diskriminasi pendidikan. Hentikan proyek Rintisan/Sekolah Bertaraf Internasional'.
Menurut Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal (LAPAM), unjuk rasa ini merupakan upaya mendesak pemerintah agar memberikan pendidikan murah atau bahkan gratis, dan berkeadilan sosial. "Pendidikan yang berkeadilan sosial dalam arti adalah pendidikan yang merata dan bermutu baik," kata aktivis LAPAM, Merlin Simbolon di lokasi demonstrasi.
Para demonstran juga menolak segala bentuk diskriminasi dalam dunia pendidikan. "Contohnya program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, ini juga salah satu bentuk diskriminasi," kata Merlin. Menurutnya, tarif pendidikan yang diterapkan oleh sekolah yang berstatus bertaraf internasional akan membuat orang-orang yang tidak mampu secara finansial tidak dapat memasukinya. Padahal, kata Merlin, sekolah-sekolah itu hanya berbeda dari segi bahasa pengantarnya. Akan halnya sistemnya tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah umumnya.
Komite juga akan mengawal kebijakan pemerintah seperti penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). "Penyelenggaraan UN oleh pemerintah saat ini adalah bentuk pelanggaran hukum," kata Merlin. Padahal, lanjutnya, Mahkamah Agung sudah membatalkan program UN yang dilakukan pemerintah.
Pada tahun ini, tingkat kelulusan SMA atau sederajat menurun dari 95,05 persen di tahun 2009 menjadi 89,61 persen di tahun 2010. "Jika pemerintah ingin menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan, apakah pemerintah sudah memberikan fasilitas dengan kualitas yang merata?" kata Merlin.
Pernyataan senada juga diungkapkan Koordinator Bidang Sosial dan Politik BEM Universitas Indonesia, Hafizh Alfath. Menurut Hafizh, pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan warganya. "Tapi saat ini peserta didik dipersiapkan untuk menjadi komoditas tenaga kerja. Seharusnya bukan itu," kata Hafizh.
Hafizh juga mengingatkan bahwa yang seharusnya menjadi perhatian pada saat ini bukan hanya kasus-kasus pajak atau korupsi, yang notabene saat ini sedang menarik perhatian masyarakat. "Pendidikan adalah modal dasar bagi warga negara yang harus diperhatikan," kata Hafizh.
Demonstran juga menolak rencana Kementerian Pendidikan Nasional untuk membentuk peraturan yang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh menyatakan pemerintah sedang menggodok peraturan baru sebagai pengganti UU BHP dengan alasan karena ada kevakuman hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Merlin membantah bahwa kevakuman hukum itu sama sekali tidak ada.
0 comments:
Posting Komentar